Siapa yang tidak kenal duku Palembang yang rasanya manis? Meski
disebut “duku Palembang” ternyata duku ini dihasilkan dari Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI) dan Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang
sebagian besar wilayahnya merupakan rawa gambut.
Bagi generasi
lalu, buah tahunan ini merupakan sumber ekonomi yang hasilnya jauh lebih baik
dari berkebun karet atau sawit. Kini, sejalan dengan perubahan bentang alam di
OKI, khususnya rawa gambut, pohon duku banyak yang mati atau buahnya tidak
lebat lagi.
“Setiap pohon
duku, buahnya dibeli para pedagang berkisar Rp8-10 juta. Jika kita punya 100
batang, uangnya dapat mencapai Rp1 miliar, dan lahan yang dibutuhkan sekitar 3
hektar,” kata Edi Rusman, yang dilansir dari mongabay.co.id.
Pohon duku
yang ditanam masyarakat OKI dan OKU umumnya berada di tanah mineral yang dekat
sungai dan rawa gambut. Duku bersama tanaman buah lainnya seperti durian
menjadi kawasan penyangga antara tanah mineral dengan rawa gambut, sehingga
kebun buah ini dekat rumah masyarakat.
Tapi entah kenapa, sejak rawa gambut mengering atau kekurangan
air dan sering terbakar, banyak pohon duku yang mati atau buahnya tidak selebat
dulu. Padahal, hasil penjualan duku jauh lebih besar dibanding getah karet.
Jika kebun karet per hektar dalam setahun hanya menghasilkan sekitar Rp60-70
juta, duku dalam satu hektar menghasikan ratusan juta rupiah.
Bedanya, getah
karet hasilnya setiap minggu, sementara duku setiap tahun, dan juga tergantung
kondisi iklim. “Lima tahun terakhir, baru tahun ini buahnya bagus, mungkin
karena banyak hujan dan cukup sinar matahari,” ujar Solian, warga Desa Perigi
Talangnangka.
Sementara,
dibandingkan tanaman sawit, setiap hektarnya hanya menghasilkan Rp50-60 juta
per tahun. Tanaman ini hanya cocok dikelola perusahaan, sebab uangnya terasa
jika memiliki ratusan hingga ribuan hetar kebun. Kalau masyarakat, hanya mampu
mengelola lahan sekitar 2-5 hektar, yang hasilnya jauh lebih kecil dibandingkan
duku,” jelasnya.
Najib Asmani, koordinator TRG Sumsel, menyatakan potensi tanaman
buah di OKI diakuinya luput dari kajian dan penelitian para pihak yang bekerja
untuk melakukan restorasi gambut. “Mungkin karena tidak tumbuh di lahan gambut,
sehingga tidak diperhatikan.
Padahal jika
dilihat dari pendapatan masyarakat sekitar gambut, tanaman ini memberikan
pendapatan yang terbukti sejak puluhan tahun lalu. Artinya, masyarakat mungkin
tidak akan mengelola lahan gambut, jika tanaman ini memberikan penghasilan yang
besar,” katanya.
Selain itu, kata Najib, tanaman buah seperti duku dan durian juga
tergantung kondisi rawa gambut. Jika bagus, tanaman berproduksi baik. “Ini
memberi peluang masyarakat untuk menjaga gambut agar tanaman duku atau
duriannya baik,” jelasnya.
Sedekah Pohon Duku
Desa Perigi
Talang Nangka merupakan desa yang banyak dibantu pemerintah dalam upaya
restorasi lahan gambut. Desa ini berbatasan dengan Suaka Margasatwa Sugihan
Sebokor. “Sebagai tanda terima kasih kepada pemerintah, kami akan bersedekahkan
seribu pohon duku yang bibitnya berasal dari kebun kami.
Pohon duku ini
kami harapkan dapat ditanam di lahan kering yang berbatasan dengan rawa gambut
atau sungai, sehingga 15-20 tahun mendatang, jadi pemasukan masyarakat dan juga
sebagai kawasan penyangga,” ujar Edi Rusman.
Najib Asmani memastikan seribu pohon duku tersebut akan ditanam
di sejumlah desa yang memiliki tanah mineral berbatasan dengan gambut, yang
menjadi binaan TRG Sumsel. “Minimal tanaman buah ini tidak menghilangkan jejak
duku Sumatera Selatan yang terkenal manis, termasuk dapat terus dinikmati anak
dan cucu kita,” katanya.
Selain pohon
duku, TRG Sumsel juga berencana menyebarkan tanaman buah yang dapat ditanam di
lahan gambut atau di tanah mineral sekitar gambut, seperti durian, nangka, dan
cempedak. “Buah nangka itu pasarannya jelas.
Pembelinya
tidak pernah putus selama masih ada rumah makan. Harganya pun cenderung naik.
Tanaman ini juga dapat tumbuh di gambut tipis, dan jika tidak lagi produktif,
kayunya banyak peminat, terutama para seniman patung dan pengrajin ukiran.”
Najib
berkeyakinan, tanaman buah lebih disenangi masyarakat, sebab mereka sudah
mengenal dan tahu bagaimana merawatnya. Biayanya rendah, kemungkinan besar
tidak butuh perawatan karena masyarakat secara sukarela memeliharanya.
“Bibitnya juga
memberikan pemasukan bagi masyarakat, dapat dibeli langsung dari masyarakat.
Pastinya, tidak butuh biaya transportasi seperti menanam jelutung yang bibitnya
didatangkan dari daerah lain,” tandasnya.
Tulisan ini dikutip
dari nationalgeographic.co.id
Comments
Post a Comment